Yang bisa anda lihat


Pilih saja

Serbaserbi Gagasan Kemandirian Layanan Kami


Monday, February 1, 2010

Sepenggal Pagi di Malioboro

Jam tujuh pagi, Malioboro masih sepi, walaupun bukan hari libur. Pedagang kaki lima, dagangannya masih tertutup rapat dengan plastik penutup atau para-para penggantung dagangan masih kosong. Pejalan kaki masih santai. Beberapa orang makan sarapan di kuliner trotoar. Sepeda motor sudah berseliweran tetapi belum seramai siang hari yang biasanya padat bercampur berbagai jenis kendaraan, mulai becak, dokar, bis kota, kendaraan pribadi roda empat, bahkan sepeda pancal.

Saya salah satu pejalan kaki yang pagi itu menikmati udara segar karena semalam hujan deras. Di depan Malioboro Mall, saya lihat seorang ibu lagi duduk dipinggiran pemisah jalan sebelah timur. Di depannya ada sebuah ‘tenggok’ (keranjang bambu yang anyamannya dibuat rapat), sedang diatasnya sebuah ‘tambir‘ (sejenis tempat saji juga terbuat dari bambu) diameter setengah meteran, berisi makanan jajanan tradisional tinggal separoh. Gatot, cenil, gendar dan lopis. Sulit untuk mendiskripsi makanan ini dengan kata-kata kecuali pembaca menyempatkan mencicipi sendiri. Saya berhenti persis di depannya. Lalu jongkok, merapat ke tenggoknya. “Dahar mas (makan mas)”, katanya langsung menyiapkan sesobek daun pisang. Saya ragu. “Mulai jam pinten bu? (Mulai jam berapa berjualan bu)”, Tanya saya. Ibu itu, yang ngakunya bernama bu Sukirah (70 tahun), menjawab, tentu saja dengan bahasa Jawa. “Jam enam”. “Masaknya?”, tanya saya lagi. “Jam dua belas malam”, ia memandangi saya. “Yang Bantu?”. “Sendiri”, jawabnya singkat, setelah berdiam sebentar, tetapi tertawa ngekeh sambil memamerkan gusinya yang sudah tak bergigi. “Laris bu?” Tanya saya lagi. Jawabnya: “Lumayan, rejeki wonten pundi mawon. (Maksudnya :rejeki ada dimana saja) Pokoke tangane obah (asal mau kerja)”, jawabnya sarat makna. Saya nggak bertanya lagi, menghormati privasinya, walaupun ingin tanya lebih banyak.

“Foto bu nggih?”. Sambil tertawa lagi ia menjawab, “Ah, biasa. Sudah banyak yang motret. Pokoke . . . . ”. Bu Sukirah tertawa ngekeh lagi sambil ibu jari dan telunjuknya diketemukan. Dan …. Memukul pundakku. Aku mengerti maksudnya. Orang Jogja sudah maju. Nggak pakai basa basi, nggak seperti waktu saya kecil dulu. Dan jadilah foto seperti yang anda lihat ini.

0 comments:

Post a Comment

Search on this blog